Sunday, April 6, 2008

Obat Palsu Semakin Beragam dan Mematikan

Jangan pikir pendidikan tinggi dan intelektualitas bisa menjamin Anda terbebas dari tipu muslihat si pembuat obat palsu. Anda tidak akan pernah tahu, sampai tubuh memberikan reaksi yang tidak semestinya. Reaksi yang mungkin timbul berminggu, berbulan, atau bertahun-tahun kemudian, setelah obat gadungan itu mengendap di tubuh.

Jangan pula berpikir si pembuat obat palsu hanya membidik orang-orang berkantong tipis, karena tidak selamanya obat-obat 'haram' itu dijual dengan harga yang jauh lebih murah. Tak jarang, obat tiruan itu harus ditebus dengan harga yang lebih mahal dibandingkan aslinya, hanya untuk meyakinkan si pembeli bahwa tidak ada yang janggal dengan obat itu.

“Untuk meyakinkan pembelinya, para penjual obat palsu menjual produk mereka dengan harga yang sama, bahkan lebih mahal dari aslinya. Kalau terlalu murah, tentu calon pembeli akan curiga. Jadi, tidak benar bahwa obat palsu pasti lebih murah dari aslinya," ujar Senior Product Manager PT Pfizer Indonesia Andini W. Suhardi.

Mungkin masih banyak yang ingat, obat palsu pun pernah 'menyusup' ke istana presiden. Saat masih menjabat sebagai presiden, Megawati Soekarnoputri mengaku pernah mengonsumsi obat palsu, yang diperoleh dari dokter kepresidenan. Hal itu disampaikan sendiri oleh Megawati pada Mei 2003.

Terlepas dari 'cerita seru' yang muncul setelah kejadian tersebut, pernyataan Megawati itu jelas menunjukkan betapa hebatnya manuver jaringan penjual obat palsu. Obat-obat nan mematikan itu kini berada tepat di depan pintu dan tinggal tunggu waktu untuk masuk ke tubuh Anda.

Jenis obat palsu yang beredar juga terus meningkat. Dalam sembilan bulan pertama tahun ini, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 28 jenis obat palsu. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan 12 jenis pada tahun lalu dan 14 jenis pada 2005.

Kendati ragam temuan obat palsu pada tahun ini jauh lebih banyak dibandingkan 2006 dan 2005, BPOM tetap yakin volume peredaran obat palsu di Indonesia 'hanya' sebesar 1% hingga 1,5% dari total obat beredar.

"Tidak sebesar yang diperkirakan WHO [sebesar 10%]. Kendati demikian, harus tetap ada upaya serius untuk memberantasnya," ujar Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik and Napza BPOM Lucky S. Slamet.

Pelaku industri farmasi, sebagai pihak yang turut dirugikan secara materil dan nonmateril, tentu tidak tinggal diam. Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk menciptakan kemasan dengan teknologi pengaman tingkat tinggi.

Namun, para pemalsu tidak kalah canggih. Mereka selalu berhasil menemukan cara 'menciptakan' obat palsu dengan tampilan yang nyaris sama dengan aslinya.

"Tidak ada cara lain untuk terbebas dari obat palsu, selain membeli obat di apotik atau tempat resmi. Jangan di sembarang toko obat. Saya sendiri [sebagai produsen] tidak bisa membedakan obat yang asli dan palsu, saking miripnya," ujar Andini.

Selain itu, para penjual obat palsu juga menggunakan label impor sebagai trik jitu memikat calon pembeli.

Seluruh jenis obat palsu yang berhasil ditemukan BPOM tahun ini, berstempel buatan pabrikan obat luar negeri. Obat-obat palsu itu diklaim sebagai buatan pabrik obat di Amerika Serikat (AS), Australia, Jerman, hingga Taiwan.

Tak satu pun yang mencantumkan pabrikan lokal sebagai produsennya. Namun, itu bukan berarti, peracikan obat palsu tidak dilakukan di dalam negeri.

"Klaim buatan AS atau Australia oleh para penjual obat-obat palsu itu, biasanya bisa membuat konsumen lebih yakin. Kalau sumber jelasnya, sulit dilacak," ujar Andini.

Ternyata trik dagang para mafia obat palsu juga tidak kalah hebat. Mereka tahu bahwa iming-iming buatan luar negeri, masih menjadi jualan laris di negeri ini.


Sumber: Bisnis Indonesia

No comments:

Search

Powered By Blogger